Motivasi atau Disiplin Lebih Penting Mana?

Ada istilah mentok menulis atau  bisa disebut mental block dan writer’s block. Setiap orang pasti pernah mengalaminya, apalagi bagi penulis pemula. Oleh karena para penulis atau mentor dan komunitas literasi berlomba-lomba untuk memberi semangat agar tetap produktif menulis. Tapi kenyataannya tak semudah itu. Karena beberapa alasan atau faktor baik faktor internal maupun eksternal yang membuat semangat nulis jadi mentok.

Tapi dalam hal ini saya tidak ingin membahas apa saja atau tips untuk semangat menulis, akan tetapi saya ingin memberikan sedikit pemahaman tentang dua hal diatas.

Memang betul kita sering mengalami menulis itu karena berawal terinspirasi atau termotivasi, entah itu saat mendengarkan orang lain atau saat membaca artikel yang menarik dan menggugah semangat. Sehingga kita memiliki energi dan keinginan untuk bertindak atau mau mencoba menulis untuk menjadi penulis.

Tapi pada kenyataannya tidak cukup disitu. Pada hakikatnya semua hal bukan karena semangat atau terinspirasi semata karena itu sifatnya hanya semantara. Seperti saat kita mendengarkan sang motivator di ruangan seminar atau pelatihan begitu membara dan tenang, menggebu-gebu untuk menjadi bisa, untuk menjadi sukses. Tetapi saat keluar ruangan entah ide itu bisa hilang atau semangat itu redup kembali.

Kapan Siap Menulis?

Kapan terakhir kali Anda menulis? Kapan terakhir kali Anda bercerita, curhat dengan teman, memberi nasihat, atau menerima pesan penting dari seseorang?

Sebenarnya bukan karena kita tidak bisa menulis, atau tidak punya waktu. Masalah utamanya adalah tidak ada niat. Padahal, setiap orang sesungguhnya mampu menulis lebih dari seratus kata setiap hari. Sayangnya, kebiasaan itu hanya tersalurkan saat mengetik pesan singkat atau membaca chat WhatsApp.

Coba perhatikan: jari-jari kita—terutama kedua jempol—sudah terbiasa mengetik di layar handphone hampir setiap waktu. Kita juga gemar membaca, bahkan baru bangun tidur pun langsung mengecek chat masuk atau scroll media sosial. Jadi, aktivitas membaca dan menulis sebenarnya sudah menjadi bagian hidup kita. Tinggal bagaimana kita mengalihkannya ke media yang lebih bermanfaat, misalnya menulis di buku harian, laptop, atau aplikasi catatan di ponsel.

Jangan terus memperbanyak alasan. Jangan menunggu waktu atau fasilitas yang belum tentu datang. Mulailah dengan apa yang ada, seadanya, sebisanya, semampunya. Terlalu banyak berpikir dan menunda hanya akan membuat kita tertinggal dari orang lain yang lebih rajin dan konsisten menulis.

Penulis Kaya Dalam Keabadian

Gambar menulis dikutip dari: https://www.ikapi.org

 Rasanya saya belum pernah dengar kata-kata dari tokoh penulis yang menggembar-gemborkan nulis itu jadi kaya. Meskipun banyak penulis yang bisa mendapat banyak uang dan dari hasil menulis.

Mungkin ada juga menjadi penulis sebagai peluang untuk mendapat cuan atau sebuah industri. Tapi apakah tiap penulis bisa sukses semua.

Misalnya dengan banyaknya karya atau bukunya yang berhasil terbit dan dicetak berkali-kali berjuta-juta eksemplar. Apakah setelah melewati itu akan mendatangkan kebahagiaan? Apalagi tokoh-tokoh terdahulu yang karya-karyanya dicari, diburu, dan dibaca oleh ribuan dan jutaan orang, hingga saat ini dan yang akan datang.

Menurut saya, mungkin terlalu rendah bila kita menulis atau berprofesi sebagai penulis hanya berharap dapat uang. Ya, memang tidak munafik, siapakah yang tidak butuh uang. Tapi coba pikirkan kembali bahwa menulis itu lebih dari sekedar mencari uang, cari kekayaan, atau popularitas. Bagaimana untuk sampai pada pandangan yang lebih tinggi levelnya atau kedudukannya. Karena kata Pramoedya Ananta Toer “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Ia juga mengatakan bahwa “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”. Begitupun penulis itu bisa menjadi apa saja. Seperti kita memiliki sebuah pisau. Untuk apa digunakan. Bisa untuk mengiris barang-barang didapur, atau bisa juga untuk dipakai dalam hal kejahatan.