About Widiyah

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Penulis novel Fluida Rasa. Instagram: @wdyh_oke

Analisis Emotif Pendekatan dalam Apresiasi Sastra Menurut Teori Abrams pada Novel Balada Si Roy Karya Gol A Gong

Sumber: Gramedia.com

“Pikiran feodal harus dirobohkan, oligarki harus ditumbangkan.” -Gol A Gong, Balada Si Roy.

Novel Balada Si Roy karya Gol A Gong telah diadaptasi menjadi sebuah film tahun 2022 yang disutradarai oleh Fajar Nugros, dirilis tanggal 19 Januari 2023. Film berlatar tempat di Serang, tokoh Roy dibintangi oleh aktor Abidzar Al-Ghifari. Semula novel ini terlihat seperti fiksi remaja pada umumnya, tetapi terdapat beberapa perbedaan yang menjadi daya tarik pembaca. Sekilas Balada Si Roy membahas tentang kisah asmara antara Roy dengan Ani, kedekatan keduanya memancing amarah sang penguasa sekolah yaitu Dullah yang juga mencintai gadis tersebut. Novel ini tidak hanya membahas perihal cinta, melainkan ada beberapa hal menarik yang akan dianalisis melalui pendekatan emotif dalam apresiasi sastra menurut teori Abrams.

Pertemanan yang terjalin antara Roy, Andi, dan Toni diberikan nama geng RAT ingin menentang perbuatan yang dilakukan oleh Borsalino mendapatkan dukungan dari murid lain. Geng Borsalino diketuai oleh Dullah sangat ditakuti oleh semua murid karena ayahnya merupakan orang yang berkuasa di Serang, sehingga sering kali menindas dan merendahkan sesuka hati. Sikap Dullah ini tentu ada di kehidupan nyata, di mana orang kaya dengan seenaknya menindas, merendahkan, menghina, dan mencaci maki golongan kelas bawah. Orang seperti Dullah merasa memiliki kuasa, harta, dan tahta yang bisa membeli apa pun atas kehendaknya. Golongan dari kelas bawah harus tunduk, selalu menghormati, dan merasa segan kepadanya. Penyebabnya karena pemikiran feodalisme dan oligarki.

Analisis Historis dan Emotif pada Novel Max Havelaar Karya Multatuli Menggunakan Pendekatan dalam Apresiasi Sastra Menurut Teori Abrams

Sumber: Gramedia.com

“Ya, dia cerdik … tapi ada kecerobohan dalam kecerdikannya. Dia pintar … tapi tidak memanfaatkan kepintarannya dengan baik. Ya, dia baik hati, tapi … dia memamerkannya!”
―Multatuli,
Max Havelaar or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company.

Novel Max Havelaar ditulis oleh Multatuli (nama pena penulis Belanda yaitu Edward Douwes Dekker) hanya dalam waktu satu bulan pada tahun 1859 di sebuah losmen di Belgia. Tahun 1860 novel ini terbit untuk pertama kalinya dalam bahasa Belanda dengan judul asli Max Havelaar, of De koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij (Max Havelaar atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda). HB Jassin menerjemahkan novel ini dari bahasa Belanda aslinya ke dalam bahasa Indonesia tahun 1972, dicetak ulang pada 1973, dan ditahun yang sama mendapat penghargaan dari Yayasan Prins Bernhard diundang untuk tinggal di Belanda selama satu tahun.

Max Havelaar diadaptasi menjadi sebuah film tahun 1976 yang disutradarai oleh Fons Rademakers, ditujukan sebagai bagian dari kemitraan antara Belanda-Indonesia. Film ini melibatkan beberapa aktris Indonesia seperti Rima Melati, tetapi relatif tidak populer di Indonesia, bahkan sempat dilarang beredar oleh pemerintah Orde Baru setelah beberapa saat diputar di gedung bioskop. Film ini tertahan di Badan Sensor Film (BSF) selama sepuluh tahun sebelum beredar dan sewaktu pada awal pembuatannya sudah menimbulkan kericuhan. DA Peransi yang awalnya menjadi ko-sutradara menarik diri karena perbedaan prinsip mengenai cara penanganan kisah, sehingga film ini penyelesaiannya memakan waktu tiga tahun, dan tidak diperbolehkan untuk ditayangkan di Indonesia sampai tahun 1987.