Analisis Historis dan Emotif pada Novel Max Havelaar Karya Multatuli Menggunakan Pendekatan dalam Apresiasi Sastra Menurut Teori Abrams

Spread the love

Sumber: Gramedia.com

“Ya, dia cerdik … tapi ada kecerobohan dalam kecerdikannya. Dia pintar … tapi tidak memanfaatkan kepintarannya dengan baik. Ya, dia baik hati, tapi … dia memamerkannya!”
―Multatuli,
Max Havelaar or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company.

Novel Max Havelaar ditulis oleh Multatuli (nama pena penulis Belanda yaitu Edward Douwes Dekker) hanya dalam waktu satu bulan pada tahun 1859 di sebuah losmen di Belgia. Tahun 1860 novel ini terbit untuk pertama kalinya dalam bahasa Belanda dengan judul asli Max Havelaar, of De koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij (Max Havelaar atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda). HB Jassin menerjemahkan novel ini dari bahasa Belanda aslinya ke dalam bahasa Indonesia tahun 1972, dicetak ulang pada 1973, dan ditahun yang sama mendapat penghargaan dari Yayasan Prins Bernhard diundang untuk tinggal di Belanda selama satu tahun.

Max Havelaar diadaptasi menjadi sebuah film tahun 1976 yang disutradarai oleh Fons Rademakers, ditujukan sebagai bagian dari kemitraan antara Belanda-Indonesia. Film ini melibatkan beberapa aktris Indonesia seperti Rima Melati, tetapi relatif tidak populer di Indonesia, bahkan sempat dilarang beredar oleh pemerintah Orde Baru setelah beberapa saat diputar di gedung bioskop. Film ini tertahan di Badan Sensor Film (BSF) selama sepuluh tahun sebelum beredar dan sewaktu pada awal pembuatannya sudah menimbulkan kericuhan. DA Peransi yang awalnya menjadi ko-sutradara menarik diri karena perbedaan prinsip mengenai cara penanganan kisah, sehingga film ini penyelesaiannya memakan waktu tiga tahun, dan tidak diperbolehkan untuk ditayangkan di Indonesia sampai tahun 1987.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *