Bagaimana bisa pemimpin pribumi yang menindas rakyatnya sendiri? Pantas saja negara asing menjajah Indonesia, karena petinggi pribuminya pun menjajah negerinya sendiri dengan cara korupsi. Ternyata korupsi yang kerap terjadi sekarang tidak lepas dari sejarah pada zaman dulu, andai kata Max berhasil membongkar ketidakadilan pada saat itu, mungkin di masa kini wilayah Banten bebas dari kebiasaan korupsi, penuh kedamaian tanpa adanya penguasa yang menindas rakyat jelata. Sesungguhnya yang menindas bangsanya sendiri jauh lebih buruk daripada penjajah Belanda yang notabenenya bangsa asing. Demang, Bupati, atau tiran lokal mana pun tetap satu bangsa yang mestinya saling mendekap, dan petinggi bisa mengayomi rakyatnya. Namun, yang terjadi justru pengkhianatan terhadap sesama. Itulah novel Max Havelaar karya Multatuli jika dikaji menggunakan pendekatan emotif.
Dengan demikian, Edward Douwes Dekker menulis novel Max Havelaar hanya dalam waktu satu bulan pada tahun 1859 di sebuah losmen di Belgia. Novel ini memberikan gambaran mengenai kondisi Indonesia (Hindia-Belanda) ketika masa penjajahan Belanda, juga menceritakan pengalamannya melihat penindasan selama menjadi asisten residen Lebak. Gaya penulisan singkat dalam novel ini mampu meningkatkan kesadaran masyarakat Eropa yang saat itu tinggal di negaranya, kekayaan yang mereka nikmati adalah akibat penderitaan di belahan dunia lain. Max yang menyaksikan pemberontakan, kelaparan, pencurian, pembunuhan, penindasan, dan pemerasan yang terjadi di Lebak, Banten berusaha untuk memberikan kedamaian dengan cara selalu menerapkan unsur kelembutan dalam bertutur kata, berupaya melawan kolonialisme, dan membongkar kecurangan dengan melaporkan ke petingginya tuan residen. Namun, usaha dan upaya yang Max lakukan berakhir sia-sia. Dampaknya ada tiga puluh juta penduduk asli yang dilecehkan, dieksploitasi, kelaparan, dibunuh, disalahgunakan, dan semua itu atas nama Batavus Drystubble (seseorang yang pernah Max selamatkan di masa lampau).