Multatuli menulis Max Havelaar sebagai protes terhadap kebijakan kolonial, tetapi tujuan lainnya adalah mengupayakan rehabilitasi atas pengunduran dirinya dari dinas pemerintah. Meskipun gaya penulisannya singkat, tetapi mampu meningkatkan kesadaran masyarakat Eropa yang saat itu tinggal di negaranya bahwa kekayaan yang mereka nikmati adalah akibat penderitaan di belahan dunia lain. Demikianlah Max Havelaar jika dikaji menggunakan pendekatan historis. Pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan, serta perkembangan sejarah sastra itu sendiri dari masa ke masa. Sedangkan pendekatan emotif adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mengajuk pada emosi atau perasaan pembaca, juga pandangan bahwa cipta sastra merupakan bagian dari karya seni yang hadir untuk memberikan kesenangan dan hiburan.

Tokoh Max menyaksikan adanya pemberontakan, kelaparan, pencurian, pembunuhan, penindasan, dan pemerasan di Lebak, Banten pada saat itu. Mengetahui adanya penyalahgunaan wewenang, bahwa Bupati yang menyuruh orang menggarap sawahnya tanpa bayaran, memperlakukan rakyatnya sebagai budak lebih dari yang diperbolehkan secara hukum, dibantu Demang yang menjadi dalang dengan mencuri kerbau orang miskin, dan menjual hasil panen orang yang kelaparan. Ia berusaha untuk memberikan kedamaian dengan cara selalu menerapkan unsur kelembutan dalam bertutur kata, berupaya melawan kolonialisme, dan membongkar kecurangan dengan melaporkan ke petingginya tuan residen. Namun, usaha dan upaya yang Max lakukan berakhir sia-sia karena laporannya tidak digubris sama sekali. Ada tiga puluh juta penduduk asli yang dilecehkan, dieksploitasi, kelaparan, dibunuh, disalahgunakan, dan semua itu atas nama Batavus Drystubble (seseorang yang pernah Max selamatkan di masa lampau).